
BABAD GUMELEM
Dikutip dari catatan yang disusun oleh Bapak Agus Winaryanto, yang telah menggali informasi tentang sejarah Gumelem dari berbagai narasumber dibawah ini :
- Alm. Bpk. Suwarto (Th 2002)
- Alm. Bpk. Biarno (Th 2002)
- Bpk. Anwari (Th 2003)
- Bpk. Sanusi, Mantan juru kunci makam (Th 2003
- Alm Bpk. Suhono, Tokoh masyarakat (Th 2003)
- Ibu Madi (Th 2003)
- Sdr. Gema Rohmawan Bin Sugadi & Keluarga (Th 2003)
- Bpk. Slamet / Martorahardjo (Th 2004)
- Bpk. Budi Sulistyo, Mantan Kepala Desa (Th 2010)
- Bpk. Sukomo, Mantan Kepala Desa (Th 2011)
- Bpk. Sujeri, Juru Kunci Makam Gumelem (Th 2011)
- Pembina dan pengurus PAKEMBARA di Banjarnegara.
- Rahmat Sumino, Ketua Pakem di Gumelem (Th 2011)
Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon terbentuk dari rangkaian sejarah yang sangat panjang. Rangkaian sejarah itu terkait dengan Kejayaan Kerajaan Mataram di era kepemimpinan Raden Sutawijaya atau Panembahan Senopati.
Seluruh informasi yang ada di artikel ini di dapat dari narasumber yang merupakan tokoh masyarakat, beberapa di antaranya masih mempunyai garis keturunan dari para Demang yang pernah memimpin Desa Gumelem.
Dewasa ini banyak generasi muda yang tidak mengetahui cerita rakyat yang terdapat di daerahnya sendiri, peran penting generasi muda sangat diperlukan dalam upaya pewarisan budayanya.
Kurangnya minat dan sosialisasi mengenai cerita rakyat kepada generasi muda dapat mengakibatkan berkurangnya tradisi bercerita bahkan dapat mengakibatkan hilangnya cerita rakyat di daerahnya sendiri.
Tujuan dari ditulisnya artikel ini adalah agar para generasi muda, khususnya generasi muda Gumelem mau mempelajari sejarah dan melestarikan adat kebudayaan desanya.
Supaya sejarah Desa Gumelem tetap dapat dilestarikan, serta tidak hilang ditelan jaman yang serba digital seperti sekarang ini.
Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Agus Winaryanto yang telah menggali informasi sejarah Gumelem dari berbagai sumber, sehingga saya sebagai penulis dapat menuliskannya kembali dalam artikel ini.
PENDAHULUAN
Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon yang berada di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara, adalah wilayah desa dengan rangkaian sejarah yang sangat panjang.
Dari sebelum Sutawijaya menjadi Raja Mataram sampai dengan kerajaan Mataram Islam mengalami kejayaan, hal ini masih dapat dilihat dari bukti-bukti sejarah peninggalannya di antaranya:
- Makam Ki Ageng Giring beserta bangunannya di Girilangan.
- Makam Gumelem, merupakan makam abdi dalem Panembahan Senopati yang jadi Demang di Gumelem.
- Dua buah pilar atau tugu di jalan masuk ke tanah Krajan.
- Masjid tua Gumelem di Dukuh Kauman.
- Petilasan Gumelem di Dukuh Sayangan.
Peristiwa penting yang berkaitan dengan sejarah atau Babad Gumelem dapat dikelompokkan dalam beberapa kisah:
- Kisah Dwegan / Kelapa muda ijo.
- Pusaka Sodor dan Gonjur.
- Perdikan Gumelem
- Pusaka Kudhi Cenggereng.
- Kademangan Gumelem.
- Desa Gumelem.
- Adat Sadran Gehde.
Adapun tokoh-tokoh yang berperan dalam berdirinya Gumelem di antaranya:
- Sunan Kali Jaga.
- Ki Ageng Pamanahan.
- Juru Mertani yang selanjutnya dikenal dengan nama Ki Ageng Giring III
- Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati.
- Dewi Nawangsasi (Mbah Bogem)
- Adipati Ukur.
- Ki Ageng Udhakusuma.
- Raden Wirakusuma.
- Raden Jono.
- Ki Ageng Singakerti.
KISAH DAWEGAN IJO / KELAPA MUDA HIJAU
Asal muasal Gumelem berawal dari sebuah peristiwa yang di alami oleh dua orang kakak beradik yaitu Ki Pamanahan dan Ki Wonomenggolo (Ki Ageng Giring).
Dua orang ini adalah anak dari Ki Ageng Selo yang merupakan penduduk desa biasa, kesehariannya menekuni kehidupannya sebagai seorang petani hingga Ki Giring dijuluki sebagai Juru Mertani.
Ketelatenan dan ketekunannya dalam dalam menjalani kehidupan, membuat mereka suka bermeditasi dan menjalankan syariat-syariat islam.
Hal tersebut membuat Ki Pemanahan dan Ki Giring menjadi sosok yang berwibawa dan di hormati oleh keluarga, kerabat dan warga Desa Sodo (Desa Paliyan Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul). Sehingga gelar Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Giring disandangkan pada mereka.
Konon di abad XIV, Ki Ageng Giring yang termasuk salah satu santri dari Sunan Kali Jaga, mendapatkan sebuah Wahyu Keprabon atau ilham yang dikenal dengan Wahyu Gagak Emprit.
Wahyu itu mengartikan bahwa ada sebuah pohon kelapa yang hanya memiliki satu buah kelapa muda (dawegan), dan barang siapa meminum sekali habis maka keturunannya akan menjadi raja-raja di tanah Jawa.
Setelah mendapatkan Wahyu Keprabon itu, maka Ki Ageng Giring segera mencari pohon kelapa sesuai dengan ciri-cirinya, dan diketemukanlah pohon kelapa yang dimaksud itu lalu dipetiklah.
Karena merasa belum haus dan hendak melanjutkan pekerjaannya yang masih banyak diladang, maka kelapa muda itu hanya diparas dan disimpannya di atas para (Rak penyimpanan barang”/perkakas jaman dulu).
Selesai melakukan aktifitas bertaninya Ki Ageng Giring pulang ke rumah dan beristirahat di serambi rumahnya, di saat itulah datang adiknya yang bernama Ki Ageng Pamanahan berkunjung masuk lewat pintu belakang rumah.
Melihat di para ada kelapa muda yang masih segar Ki Ageng Pamanahan merasa haus, maka di ambillah kelapa muda itu dan langsung diminum airnya hingga habis.
Di saat itu Dewi Nawangsasi yang melihat Ki Ageng Pamanahan sedang meminum air kelapa muda, segera langsung memberitahukan kejadian itu pada Ki Ageng Giring yang sedang beristirahat di serambi rumah.
Mendengar pemberitahuan Dewi Nawangsasi, Ki Ageng Giring langsung bergegas masuk ke dalam rumah untuk melihatnya. Namun sudah terlambat, karena adiknya sudah meminum habis air kelapa muda tersebut.
Menyaksikan kejadian itu, Ki Ageng Giring hanya bisa mengusap dada dan mengatakan “Sudah menjadi keberuntungan Ki Ageng Pamanahan dan keturunan-keturunannya”.
Ki Ageng Giring menjelaskan pada Ki Ageng Pamanahan bahwa dawegan itu dia dapat susah payah dari petunjuk wahyu keprabon, Ki Ageng Pamanahan pun akhirnya meminta maaf pada Ki Ageng Giring.
Ki Ageng Giring mempunyai permohonan agar kelak jika memang wahyu keprabon menjadi kenyataan, keturunannya diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin Mataram.
Hingga Ki Ageng Giring mengajukan permohonannya agar keturunan yang ketujuh nanti diberi kesempatan untuk menjadi raja Mataram, Ki Ageng Pamanahan lalu menjawab “Kakang, Wallahu’alam bagaimana jadinya kelak saya tidak mengetahui”.
Setelah beberapa lama, apa yang menjadi keyakinan Ki Ageng Giring terhadap air kelapa muda tersebut ternyata terbukti. Di akhir abad XV anak dari Ki Ageng Pamanahan yang bernama Danang Sutawijaya menjadi raja Mataram, dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alogo Sayidin Panoto Gomo.
Pada suatu ketika Raden Sutawijaya pergi berburu ke Dukuh Giring, disitu Raden Sutawijaya bertemu dan jatuh cinta dengan Dewi Nawangsasi yang merupakan anak dari Ki Ageng Giring. Sebagai seorang raja, apapun keinginannya harus dipenuhi termasuk keinginannya untuk menjadikan Dewi Nawangsasi sebagai istrinya.
Setelah menjadi istri Raden Sutawijaya akhirnya Dewi Nawangsasi pun mengandung, pada saat Dewi Nawangsasi mengandung, Danang Sutawijaya kembali ke keraton Mataram untuk kembali memimpin kerajaan Mataram.
Sedangkan Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi yang memiliki jiwa pengembara, melakukan pengembaraan ke arah barat melalui pegunungan, hingga Dewi Nawangsasi melahirkan seorang putra yang diberi nama Jaka Umbaran.
Tidak terasa Jaka Umbaran semakin tumbuh dewasa hingga Jaka Umbaran berumur 12 tahun, kedewasaan Jaka Umbaran semakin tampak ketika dia ingin menjadi prajurit Mataram dan sering menanyakan keberadaan ayahandanya.
Merasa anaknya sudah cukup dewasa, akhirnya Nawangsasi menjawab dan menjelaskan bahwa ayah dari Jaka Umbaran adalah seorang yang paling luhur kedudukannya di Mataram dan berjuluk Seno.
Pergilah Jaka Umbaran ke Keraton Mataram untuk mengabdikan dirinya menjadi seorang prajurit dan mencari ayahandanya. Di Mataram Jaka Umbaran sangat senang, karena bisa diterima menjadi prajurit Keraton Mataram.
Pada akhirnya Jaka Umbaran membuka jati dirinya dan ibundanya yaitu Dewi Nawangsasi yang merupakan istri dari Raden Sutawijaya raja Mataram. Setelah mendengar cerita itu, Raja Mataram akhirnya mengakui bahwa Jaka Umbaran adalah anaknya.
Suatu hari Jaka Umbaran diberi tugas oleh Raden Sutawijaya untuk menghantarkan sebilah keris pada Ki Ageng Giring, supaya Ki Ageng Giring membuatkan warangka keris tersebut dari kayu Purwosari.
Dengan keluguan dan kepolosan Jaka Umbaran yang masih muda tersebut, berangkatlah Jaka Umbaran ke tempat Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi yang saat itu berada di Padukuhan Salamerta. Sesampainya di Salamerta, Jaka Umbaran menyampaikan perintah Raden Sutawijaya untuk membuatkan warangka keris dari kayu Purwosari.
Mendengar apa yang diperintahkan Raja Mataram, Ki Ageng Giring terkejut kemudian menjelaskan pada Jaka Umbaran makna dari Purwasari yang ada pada perintah tersebut.
Ki Ageng Giring menerangkan bahwa makna dari Purwa adalah Kawitan yang dimaksudkan adalah Ki Ageng Giring dan Sari adalah Rasa yang dimaksudkan adalah Dewi Nawangsasi, jadi Purwasari bermakna Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi.
Sehingga arti dari tugas membuatkan warangka keris dari kayu Purwosari adalah agar keris itu digunakan untuk membunuh/melenyapkan Ki Ageng Giring dan Dewi Nawangsasi.
Ki Ageng Giring kemudian memberikan pengertian serta nasehat pada Jaka Umbaran yang merupakan cucunya sendiri, untuk tetap mengabdi ke Keraton Mataram dan akhirnya kembalilah Jaka Umbaran ke Mataram.
Mengenai tugas yang diperintahkan Raja Mataram pada Jaka Umbaran, Ki Ageng Giring menyuruh Jaka Umbaran agar bilang pada Raja Mataram, bahwa dia tidak bertemu dengan kakek dan ibunya karena telah pergi mengembara.
Dari padukuhan Salamerta ini Ki Ageng Giring dengan para pengikutnya melanjutkan pengembaraan ke arah utara, pada pengembaraan itu Ki Ageng Giring tanpa ditemani Dewi Nawangsasi, karena penduduk Salamerta meminta agar Dewi Nawangsasi menetap tinggal disana untuk mengajarkan ilmu agama.
Menyeberangi sungai Serayu sampailah Ki Ageng Giring di Sabrang Lor tempat adiknya yang bernama Ki Ageng Pamanahan tinggal tepatnya di desa Buaran.
Disini juga Ki Ageng Giring bertemu gurunya yaitu Sunan Kali Jaga, di daerah ini Ki Ageng Giring dan Sunan Kali Jaga menyebarkan syiar islam.
Saat di desa Buaran Ki Ageng Giring mulai sakit-sakitan, meskipun demikian beliau masih tetap ingin melakukan pengembaraannya ke arah barat, sedangkan Sunan Kali Jaga ke arah timur menyusuri pantai utara hingga menuju Demak.
Di suatu tempat persinggahan Ki Ageng Giring terus menurun kesehatannya, para pengikut Ki Ageng Giring membuatkannya tandu serta melarang Ki Ageng Giring untuk berjalan, maka daerah itu diberi nama Larangan.
Selanjutnya di tempat persinggahan berikutnya Ki Ageng Giring penglihatannya sudah tidak jelas lagi (kurang awas) maka daerah tersebut diberi nama Karang Lewas.
Karena sakit-sakitan dalam perjalanannya Ki Ageng Giring ditandu oleh para pengikutnya, singgahlah Ki Ageng Giring disuatu tempat yang kemudian tempat tersebut dinamakan Ketandan.
Dekat dengan daerah Ketandan, Ki Ageng Giring melakukan sesuci di sebuah sumur yang bernama sumur Beji, disitu Ki Ageng Giring merasa gumun/kagum melihat buah Delem, sebab itulah wilayah tersebut dan sekitarnya dinamakan Gumelem (Versi pertama asal mula nama Gumelem).
Dari sumur Beji, Ki Ageng Giring beserta rombongannya melanjutkan perjalanan ke arah timur, menyeberangi sungai yang airnya cukup deras hingga banyak pengikutnya yang hampir kemelem/tenggelam, dinamailah wilayah tersebut dengan nama Gumelem (Versi kedua asal mula nama Gumelem).
Merasa kondisi kesehatannya semakin menurun karena usia semakin sepuh / lanjut usia, Ki Ageng Giring pun menitipkan pesan atau berwasiat kepada para pengikutnya.
“Yen Aku Mulih Marang Kasedan Jati, Aku Duwe Piweling”
- Layonku sucenono ing sumur Beji.
- Layonku gotongen gawa ngetan pernaeh (Minta di makamkan di Salamerta tempat anaknya tinggal yaitu Dewi Nawangsasi).
- Yen layonku ora kuat dinotong lerenono.
Pangandikan atau ucapan Ki Ageng Giring akhirnya benar-benar terjadi, Ki Ageng Giring wafat sekitar tahun 1584M.
Singkat cerita setelah jenazah Ki Ageng Giring di sucikan di sumur Beji, bergegaslah para pengikut setia Ki Ageng Giring dan penduduk setempat untuk memakamkannya di Salamerta “(Layonku Gotongen Gowo Ngetan Pernaeh (Minta di makamkan di Salamerta)”.
Saat perjalanan melaksanakan wasiat Ki Ageng Giring untuk di makamkan di Salamerta, ada beberapa kejadian aneh yang dialami oleh para pengikut Ki Ageng Giring saat mengangkat tandunya.
Dalam perjalanannya ke Salamerta tepatnya disebuah bukit dekat Gunung Wuluh, tandu yang digunakan untuk membawa Ki Ageng Giring makin lama makin terasa berat, hal itu membuat para pengikut Ki Ageng Giring memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Selanjutnya saat para pengikut Ki Ageng Giring beristirahat, tanah tempat diletakkannya tandu Ki Ageng Giring semakin lama semakin amblas.
Ketika para pengikut Ki Ageng Giring hendak melanjutkan perjalanan, tandu yang berisi jenazah Ki Ageng Giring terasa sangat ringan, dan setelah diperiksa ternyata tandu tersebut telah kosong karena Ki Ageng Giring sudah hilang/murca hanya tersisa kain kafannya saja.
Mengetahui kejadian tersebut, di makamkanlah tandu Ki Ageng Giring di tempat tersebut yang kini terkenal dengan nama Bukit Girilangan (Mengandung arti kata Ki Ageng Giring ilang). Sejak saat itu Girilangan menjadi tempat tujuan berziarah, khususnya di malam Kamis Wage.
Selesai memakamkan tandu Ki Ageng Giring, dua orang pengikutnya bergegas pergi ke Salamerta tempat Nawangsasi anak Ki Ageng Giring tinggal untuk mengabarkan peristiwa tersebut.
Sementara itu di Salamerta, Dewi Nawangsasi sedang memendam kerinduan yang mendalam pada anaknya memutuskan untuk bermeditasi di dekat sungai Serayu.
Tidak bertemu anak simata wayang sekian lama yang sedang mengabdi di Keraton Mataram, membuat naluri Dewi Nawangsasi sebagai seorang ibu merasa sangat kangen dan kesepian.
Sesampai di Salamerta para pengikut Ki Ageng Giring bertemu dengan pengikut Dewi Nawangsasi dan menyampaikan maksud kedatangannya, pengikut Dewi Nawangsasi memberitahukan bahwa Dewi Nawangsasi sedang bermeditasi di dekat sungai Serayu.
Tanpa menunggu lama para abdi dalem tersebut segera pergi menuju ke tempat meditasinya, belum sampai ditempat tujuan terdengar suara benda besar terjatuh ke dalam air.
Dengan tergesa para abdi dalem mempercepat langkahnya hingga sampai di tempat Dewi Nawangsasi bermeditasi, dicarinya Dewi Nawangsasi namun tidak diketemukan, hanya kotak kinang / bogem yang biasa dibawa kemanapun Dewi Nawangsasi pergi.
Para pengikut Dewi Nawangsasi dan masyarakat sekitar meyakini, menghilangnya Dewi Nawangsasi dari tempat meditasinya karena murca seperti apa yang terjadi pada ayahandanya Ki Ageng Giring.
Pada akhirnya para pengikut dan masyarakat menguburkan kotak kinang atau bogem yang selalu dibawa Dewi Nawangsasi ditempat itu, hingga tempat itu dinamakan Bogem sampai sekarang.